BALIKPAPAN – Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) belum berlalu dari Benua Etam. Kali ini giliran sektor minyak dan gas bumi (migas). Imbas harga minyak mentah terus melorot – kemarin USD 30 per barel –, giliran ratusan karyawan Chevron Kalimantan Operations (KLO) terancam di-PHK. Padahal masih segar teringat, sepanjang Januari 2014 hingga Agustus 2015 sebanyak 10.721 orang kehilangan pekerjaan akibat rontoknya harga batu bara dan minyak sawit mentah.
Kepada Kaltim Post, Ketua Serikat Pekerja Nasional Chevron Indonesia (SPNCI) Indra Kurniawan menuturkan, dari total 6 ribu karyawan Chevron yang tersebar di beberapa wilayah kerja di Indonesia, 25 persen di antaranya terancam di-PHK. Dari jumlah tersebut, ada 200 hingga 300 karyawan Chevron di Kaltim.
“Yang berpotensi di-PHK sepihak 25 persen dari total 6 ribu karyawan. Chevron KLO juga termasuk terkena perampingan. Penyebab utamanya adalah harga minyak,” sebutnya. Dikatakan Indra, seluruh karyawan telah diberi surat dari manajemen perihal perampingan organisasi. Ada dua tawaran yang diberikan kepada pekerja. Pertama, penawaran pensiun dini. Kedua, apabila yang berminat pensiun dini kurang dari 25 persen, maka diadakan seleksi.
“Yang serikat pekerja protes adalah, muncul perjanjian bersama proses seleksi. Proses seleksi terhadap orang yang masuk ke dalam organisasi yang telah dirampingkan,” katanya. Hal inilah yang membuat karyawan resah. Karena berujung pada potensi perselisihan hubungan industrial pada rencana “peningkatan kinerja bisnis” yang dilakukan manajemen Chevron IndoAsia Business Unit (IBU) yang mempekerjakan sekitar 6 ribu pekerja nasional Indonesia.
SPNCI, memahami situasi industri migas terkini. Pihaknya telah berkali-kali melakukan pendekatan kepada manajemen untuk dilibatkan dalam pembahasan. Namun, manajemen tidak pernah secara resmi berdialog dengan SPNCI sehingga dapat dikatakan SPNCI sebagai perwakilan tenaga kerja tidak pernah terlibat dalam inisiasi pembahasan rencana “peningkatan kinerja bisnis” tersebut.
Secara paralel, SPNCI telah secara resmi menemui pimpinan Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sebagai regulator industri migas. Hasil dari diskusi dengan SKK Migas, SPNCI diberitahukan bahwa SKK Migas hanya menyetujui proses mutual agreement termination (MAT). Yaitu penawaran paket kompensasi PHK. Namun, bagi pekerja yang tidak bersedia menerima penawaran tersebut, Chevron IBU dilarang melakukan upaya-upaya yang membuat pekerja terpaksa menerima dan kehilangan pekerjaannya.
“Pada kenyataannya, skema yang ditawarkan bukan hanya MAT. Melainkan juga ada potensi terjadinya PHK secara sepihak dengan alasan yang tidak mengacu kepada PKB,” ungkapnya. Oleh karena itu, SPNCI menuntut manajemen Chevron IBU untuk menghentikan segala kegiatan terkait “peningkatan kinerja bisnis” yang bermuara pada PHK secara sepihak. Serikat juga menuntut manajemen untuk melakukan perundingan secara resmi demi merestorasi hubungan industrial yang baik serta mencegah pelanggaran terhadap PKB.
Terpisah, Serikat Pekerja Nasional Chevron KLO, Rudy Hartono menyayangkan agenda perusahaan. “Kenapa sampai ada PHK. Padahal di Kalimantan Operations ‘kan kontraknya mau habis juga,” katanya. Menurutnya, PHK dengan skema penawaran sukarela tidak bermasalah. Sebaliknya, perampingan organisasi dengan melakukan proses seleksi yang dikhawatirkan.
“Sekarang semua pegawai sudah ditawari apakah ada yang mau mengundurkan diri secara sukarela. Kalau pensiun dini sih tidak masalah. Karena atas dasar suka sama suka. Perusahaan memberikan penawaran dan pekerja merasa cocok. Yang bermasalah itu kalau ada proses seleksi,” tegasnya.
Hingga berita ini dimuat, manajemen Chevron belum memberikan keterangan resmi. Kaltim Post yang menghubungi Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan via telepon tak merespons panggilan media ini. Pesan singkat perihal permintaan konfirmasi juga tak dibalas.
Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI) Faisal Yusra mengungkapkan, tidak perlu ada PHK saat harga minyak sedang turun. “Ini hanya agenda terselubung perusahaan asing terhadap pekerja Indonesia,” bebernya. Mengapa demikian? Karena komponen biaya pekerja hanya 7 persen dari total biaya perusahaan. Kalau semua pekerja migas tidak digaji, dia menyebut perusahaan hanya kehilangan 7 persen. Karena itu, KSPMI menawarkan efisiensi terhadap 93 persen titik pengeluaran perusahaan. Di antaranya efisiensi pembelian material dan jasa.
Terhadap edaran perusahaan agar karyawan bersedia di-PHK disebut Faisal adalah keputusan keliru. “Padahal kita tahu, tenaga kerja asing banyak sekali yang tidak diperlukan. Untuk mempertahankan produksi, cukup dengan tenaga Indonesia,” ungkapnya. Memangkas tenaga kerja asing disebut Faisal adalah pilihan bijak. Lagi pula posisi yang ditempati sebenarnya mampu diemban SDM dalam negeri.
“Pertamina sudah melakukan itu dan sukses. Kami bisa mendapatkan sampai Rp 15 triliun. Pertamina tidak ada kalimat PHK, kami bisa survive. Kenapa bukan tenaga kerja asing saja yang di-PHK karena gajinya sama dengan 10 sampai 20 orang tenaga lokal. Sementara pekerjaannya bisa dikerjakan anak bangsa. Itu saja di-PHK,” terangnya. Ketika harga minyak saat ini turun, Faisal menyebut yang dilakukan perusahaan adalah menahan proyek bukan PHK.
Sumber :
http://kaltim.prokal.co/read/news/257521-6-ribu-karyawan-chevron-25-persennya-terancam-phk.html
RATING: